BENGKALIS, Riauline.com — Matahari baru saja naik di langit Bengkalis. Di Pelabuhan Roro Air Putih dan Sungai Pakning, deru mesin kendaraan terdengar bersahutan. Sopir-sopir truk dan mobil pribadi duduk di balik kemudi, menunggu giliran menyeberang ke Bengkalis dan Sungai Pakning. Beberapa dari mereka sudah antre sejak subuh, berharap kapal segera berangkat. Namun seperti biasa, harapan itu sering kali harus menunggu.
Di tepi pelabuhan, Hasan (48), seorang sopir truk sayur, menyeruput kopi dari gelas plastik. Ia sudah menunggu sejak pukul lima pagi. “Kalau Roro lancar, jam sembilan saya sudah bisa bongkar muatan di Bengkalis. Tapi sekarang bisa sampai sore baru dapat giliran. Kadang kapal rusak, kadang antrean panjang,” katanya dengan nada pasrah.
Penyeberangan Bengkalis–Pakning adalah nadi utama mobilitas masyarakat dan distribusi logistik di pulau itu. Namun fasilitas dan manajemennya sering kali tak sejalan dengan kebutuhan. KMP Swarna Putri, satu dari sedikit kapal yang melayani lintasan ini, kerap mengalami kerusakan. Jika kapal itu berhenti beroperasi, aktivitas masyarakat pun lumpuh. Barang terlambat, pekerjaan tertunda, dan waktu habis di tengah antrean panjang yang melelahkan.
Ironisnya, semua itu terjadi di sebuah kabupaten yang dikenal makmur. Bengkalis, penghasil migas utama di Riau, seharusnya memiliki infrastruktur yang memadai. Pendapatan asli daerahnya tinggi, bahkan kerap disebut sebagai salah satu yang tertinggi di Sumatera. Namun kenyataannya, akses dasar masyarakat seperti transportasi publik masih jauh dari kata layak.
“Bengkalis ini kaya, tapi seperti tak tahu mau digunakan untuk apa kekayaannya,” ungkap Ahmad Efendi, aktivis dari Perkumpulan Kawan Pencari Keadilan (P-KPK). Ia beberapa hari memantau kondisi di pelabuhan. Menurutnya, pelayanan publik di sektor transportasi sudah lama menjadi sorotan.
“Kami hanya ingin pemerintah hadir di tempat yang paling rakyat butuhkan,” tambahnya.
Di antara antrean kendaraan yang mengular, tampak ibu-ibu membawa anak kecil menunggu di teras warung. Beberapa anak tampak kelelahan, sementara ibunya berusaha menenangkan dengan bekal seadanya.
“Kami cuma mau ke rumah keluarga di Pakning. Tapi sudah beberapa jam lebih di pelabuhan Air Putih Bengkalis,” kata Rini (32), sambil menggendong putrinya yang tertidur di pangkuan. Pemandangan sederhana ini menunjukkan betapa antrean bukan hanya soal kendaraan, tetapi juga tentang manusia yang menunggu dengan sabar di tengah panas dan debu.
Praktik ‘terobos antrean’ menjadi cerita lain yang menambah getir suasana. Tak sedikit warga mengeluh karena kendaraan tertentu bisa lebih cepat naik kapal tanpa mengikuti aturan.
“Kalau ada yang kenal orang dalam, bisa langsung naik. Kami yang antre sejak pagi malah ditinggal,” ujar seorang pengemudi mobil pribadi yang memilih tidak disebutkan namanya. Ia mengaku kecewa, tapi tak tahu kepada siapa harus mengadu.
Pelabuhan Roro Bengkalis seakan menjadi simbol kesenjangan antara mereka yang punya akses dan mereka yang tidak. Antara pejabat yang datang saat sorotan media, dan warga yang setiap hari menghadapi kenyataan di lapangan. Padahal, setiap jembatan dan kapal yang beroperasi bukan hanya alat transportasi, tetapi juga tali kehidupan bagi ribuan keluarga yang menggantungkan harapan di seberangnya.
Ketika malam tiba, pelabuhan berubah senyap. Hanya suara ombak yang memecah keheningan. Beberapa sopir memilih tidur di dalam kendaraan, berharap esok pagi mereka sudah bisa menyeberang. Dalam kelelahan itu, tersimpan keikhlasan yang diam, bentuk ketabahan rakyat kecil yang jarang tersorot. Mereka tak menuntut banyak, hanya meminta pemerintah mendengar dan memperhatikan.
Bengkalis memiliki sejarah panjang dan kekayaan alam yang luar biasa. Tapi ukuran kemajuan sebuah daerah bukan hanya pada angkanya di laporan keuangan, melainkan pada seberapa bahagia dan mudahnya rakyat hidup di dalamnya. Jika pelabuhan dan kapal saja tak mampu dikelola dengan baik, lalu untuk siapa sebenarnya kekayaan itu?
Pelabuhan Roro Air Putih adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah Bengkalis hari ini wajah yang lelah menunggu perbaikan, tapi tetap berharap. Jika pemerintah mau melihat ke dalam cermin itu dengan jujur, mungkin mereka akan sadar bahwa pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur megah, tetapi tentang bagaimana setiap warga merasa dihargai.
Roro Bengkalis bukan sekadar lintasan laut, tapi lintasan nurani. Di situlah terlihat betapa manusia bisa tetap sabar di tengah keterbatasan, dan betapa daerah kaya bisa tampak miskin ketika lupa melihat rakyatnya.
Komentar Anda :