BENGKALIS,Riauline.com - Di sebuah sudut galangan kapal di Desa Sungai Siput, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis Riau tubuh kusam KMP Tasik Gemilang berdiri lesu. Kapal yang dulu dipromosikan sebagai salah satu investasi megah Kabupaten Bengkalis itu kini hanya menjadi besi tua yang menunggu ajal. Sudah bertahun-tahun kapal ini teronggok tanpa kepastian, dindingnya penuh karat, lantainya lapuk, dan lambungnya menganga seperti menyimpan kisah pahit tentang ambisi yang gagal diwujudkan.
Padahal, kapal ini pernah menjadi harapan besar masyarakat. Dengan anggaran puluhan miliar rupiah, KMP Tasik Gemilang digagas untuk memperkuat jalur penyeberangan Bengkalis–Sungai Pakning yang hingga kini masih sering mengalami antrean panjang akibat terbatasnya armada. Namun harapan tinggal harapan. Kapal yang seharusnya membantu, justru tak pernah benar-benar melayani.
Di galangan kapal itu, setiap helai karat yang menggerogoti badan kapal seperti menceritakan perjalanan panjang yang tak pernah tuntas. Warga setempat yang melintas pun hanya mampu menggeleng.
“Sayang kali, banyak uang habis, tapi tak pernah jalan,” ujar Arif warga Siak Kecil, Minggu (16/11/25). Ucapannya sederhana namun menggambarkan rasa kecewa yang sudah lama mengendap.
KMP Tasik Gemilang bukan sekadar proyek gagal, ia adalah babak kelabu yang ikut menyeret sejumlah pejabat. Di masa kepemimpinan Joni Syafrizal dan Jaafar Arif di Dinas Perhubungan, kapal ini menjadi kasus hukum yang menjerat keduanya hingga divonis beberapa tahun penjara. Persoalan pengelolaan kapal dan biaya perbaikan menjadi titik gelap yang memupuskan masa depan kapal ini sejak awal.
Tak hanya pejabat, rekanan pemenang proyek pun ikut tersandung. Pekerjaan yang tidak diselesaikan, tanggung jawab yang tak tuntas, dan pengawasan yang lemah membuka jalan panjang menuju kerugian daerah. KMP Tasik Gemilang berubah dari proyek kebanggaan menjadi bukti pahit lemahnya tata kelola pembangunan.
Kini, kapal yang dulu digadang-gadang akan membawa manfaat besar itu justru menjadi beban. Sudah bertahun-tahun ia dibiarkan terparkir di galangan, tanpa rencana perbaikan atau pemberesan. Pemerintah daerah seolah membiarkan waktu dan karat menyelesaikan masalah yang seharusnya ditangani dengan keputusan tegas.
Kondisi fisik kapal pun nyaris tak dapat diselamatkan. Lambungnya dipenuhi korosi, sebagian konstruksi lantai hancur, kabel-kabel berkarat, dan beberapa bagian struktur mengalami pelapukan parah. Teknisi galangan bahkan menyebut perbaikannya mungkin akan menelan biaya lebih besar dari nilai awal proyek. Sebuah ironi yang sulit dicerna publik.
Di tengah antrean panjang yang terus menjadi keluhan di penyeberangan Bengkalis–Sungai Pakning, masyarakat pun tak bisa menahan rasa getir. Mereka tahu bahwa seandainya KMP Tasik Gemilang beroperasi, sedikit banyak antrean itu akan terurai. Kapal tambahan tentu sangat berarti, apalagi saat hari libur atau ketika salah satu kapal reguler mengalami gangguan teknis.
Namun realitas berkata lain. Alih-alih mengurai antrean, kapal ini justru memberi tambahan beban psikologis bagi masyarakat yang setiap hari harus berhadapan dengan lamanya waktu tunggu di dua dermaga tersebut. Ironi semakin terasa ketika pemerintah terus berbicara soal peningkatan layanan, tetapi aset besar justru dibiarkan mangkrak.
Kritik publik pun tak bisa dibendung. Pemerintah Kabupaten Bengkalis dibawah naungan Dinas Perhubungan dianggap gagal menjaga aset, gagal menuntaskan persoalan hukum, dan gagal memberi solusi atas kebutuhan transportasi masyarakat. Warga bertanya-tanya, mengapa kapal dengan anggaran besar bisa berakhir menjadi rongsokan tanpa ada upaya penyelamatan yang konkret.
Sisi lain dari kisah ini adalah tentang harapan yang patah. Bagi sebagian masyarakat, KMP Tasik Gemilang adalah pengingat bahwa pembangunan tidak cukup hanya dengan anggaran besar dan seremonial peluncuran. Butuh pengawasan kuat, komitmen, dan integritas agar uang rakyat benar-benar kembali sebagai manfaat, bukan menjadi besi tua.
Kini, KMP Tasik Gemilang berdiri sendiri dalam diam, menunggu kapan akhirnya dipotong menjadi rongsokan atau mungkin dijadikan monumen kegagalan. Namun sebelum itu terjadi, seharusnya pemerintah menjadikan kisah kapal ini sebagai bahan refleksi: bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan adalah amanah publik, dan setiap kelalaian akan terlihat jelas seperti karat yang tak bisa disembunyikan.
Dan ketika masyarakat terus mengantre panjang di dermaga, kisah kapal yang hilang bersinar dimakan karat ini akan terus teringat. Sebagai pengingat bahwa harapan bisa redup jika dikelola tanpa tanggung jawab, dan bahwa kapal sebesar apa pun akan karam bila ditinggalkan tanpa arah.
Komentar Anda :